Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/indonesia-association-of-eaglewood.html
Indonesia Association of Eaglewood (Asosiasi Gaharu Indonesia)
Niat
Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon
karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia
ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun
atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3
lubang. Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang
sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan yang harganya
Rp300.000 per kg. Dari 100 kg kemedangan yang terjual, omzet pria 50
tahun itu Rp30-juta.
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman
penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan
memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke
jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut
pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan
makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah
kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga,
Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula
kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran
kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga
Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38
pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di
pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik
Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas
terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas.
Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari
pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek
bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal.
Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh
Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang
konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet
seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang
8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah
diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran
kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008,
seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan
memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak
bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan
Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon
genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana
Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat
membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis
Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria,
Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan
Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir
dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.
Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya.
Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi
Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di
berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa
Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu
mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk
memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga
puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang,
dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30
kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di
hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur
harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang
dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida,
Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies
malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu
dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota
ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari
sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke
tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada
2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005
(175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan
perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk
dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi
sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau
bukan. ‘Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu
ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,’ ungkap Dr Tonny
Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat
Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk
memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak
dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota
itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. ‘Sebaiknya pekebun
budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi.
Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,’
katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari
kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan.
Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl,
kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di
berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak
bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang
(Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur
(Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa
Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat
Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman
gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung,
menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004.
Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m.
Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m
berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan
ramuan ‘rahasia’. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium,
acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk
menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak
hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan
‘rahasia’ itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya ‘tumbuh liar’ 1-2 pohon
gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter
25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan
2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan
20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan
kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta
ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi
mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah
menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita
menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia
menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x
2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao
Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet
pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita
sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan.
Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu
sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang
sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual
sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung.
Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal
menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20
pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon
berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu
antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan
cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah
kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka
tidak tahu teknologi cendawan, ‘Saya pernah mencoba menyuntik pada
sebuah pohon, tapi tak lama mati,’ kata M Amin, pekebun di Dusun Orong
Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan
kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari
pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang
‘diinokulasi’ 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg
kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap
bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai
mengoleskan oli. Intinya membuat pohon ‘merana’ sehingga mau
mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan
bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak
ada ‘kecocokan’ antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman.
Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. ‘Yang namanya mikroba
pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,’ katanya. Fusarium yang
efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara
Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan,
dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan
di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten
Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia
menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun
setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan ‘ajaibnya’. Hasilnya
dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat
masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan
cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang
dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan
gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu
mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip
adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm
berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih
sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan
gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu
dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini
berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan
dan 20% gubal. ‘Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,’
ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar
bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap.
Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput
gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia
langsung mengirimkan 50–100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan
di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara
Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung
gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka
tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung
banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap
mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. ‘Perdagangan
gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya
tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat
tinggi,’ ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di
Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot.
‘Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat
barangnya. Bahkan kalau perlu dites,’ ungkap Taufik. Data Asgarin dapat
menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau
super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung
Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata
Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil
gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun
Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu
budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai
teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil
suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif
singkat. ‘Ini sedang kami teliti di Vietnam,’ kata Prof Robert A
Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat,
melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap
gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. ‘Setiap agama di
dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan.
India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,’ kata doktor
perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu
menjadi kebutuhan pokok. ‘Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak
atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan
kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat
sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,’ kata Dr Afdol Tharik
Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total
ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai
92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004
(32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur
Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg).
Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad.
CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu.
Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap.
Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari
semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan.
‘Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?’ tanyanya. Apalagi di masa
mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat.
Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta
hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti
agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang
hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah
perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair
melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. ‘Mereka
berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang
selalu habis terserap pasar Timur Tengah,’ ungkap Dr Teuku Tadjuddin,
kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus
melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat
ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma
Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman
gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap
anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra
dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman
rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik
pekebun.
Dengan
niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center
mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan
lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara
Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah
ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. ‘Gaharunisasi ini juga
dilakukan di kampus,’ ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram.
Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang
harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah
tahu bertanya pula. http://www.petaniindonesia.com/2009/01/19/gaharu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar