Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/gaharu-pohon-eksklusif-akan-diproduksi.html
Indonesia
merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas
terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang
pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan
keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi
alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah
pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi.
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini
diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau
agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi.
Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu
asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention
on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora)
dan ekspornya dibatasi dalam kuota.
Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam
menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke
gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan
memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular
gaharu “non-CITES quota”.
Dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di
Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan
Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani,
International Timber Trade Organization, Asgarin dan Yayasan Kehati
menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention
Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan
masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya
produksi gaharu yang lestari di Indonesia.
Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk
membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan
IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr.
Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI,
peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia.
Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari
produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil
penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin,
sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan
rakyat,” tambahnya.
Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan,
maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis
masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang
memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.
“Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung “damar
wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah
menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum,
obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah
penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand
adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang
mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB,” ujarnya saat diwawancara.
Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125
ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya
dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar
masih terbuka.
Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus
keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus
diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu
telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi
modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.
Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis
cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo
resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan
mikroorganisme tadi.
Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon
gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan
tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa
oleo resin.
Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga
30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya
di Sumatera (10 pohon/ha) dan Kalimantan (9 pohon/ha). Untuk jenis
Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/ha), Maluku
(30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/ha). Dan untuk jenis Gyrinops sp
daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/ha) dan NTT (7 pohon/ha).
http://wahanagaharu.blogspot.com/2010_09_01_archive.html
Dikutip dari: http://asahangaharu.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar