Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/indonesia-association-of-eaglewood.html
Indonesia Association of Eaglewood (Asosiasi Gaharu Indonesia)
Niat
Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon
karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia
ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun
atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3
lubang. Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang
sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan yang harganya
Rp300.000 per kg. Dari 100 kg kemedangan yang terjual, omzet pria 50
tahun itu Rp30-juta.
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman
penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan
memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke
jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut
pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan
makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah
kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga,
Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula
kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran
kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga
Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38
pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di
pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik
Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas
terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas.
Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari
pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek
bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal.
Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh
Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang
konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet
seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang
8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah
diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran
kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008,
seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan
memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak
bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan
Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon
genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana
Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat
membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis
Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria,
Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan
Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir
dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.
Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya.
Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi
Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di
berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa
Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu
mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk
memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga
puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang,
dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30
kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di
hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur
harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang
dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida,
Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies
malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu
dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota
ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari
sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke
tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada
2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005
(175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan
perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk
dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi
sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau
bukan. ‘Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu
ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,’ ungkap Dr Tonny
Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat
Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk
memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak
dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota
itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. ‘Sebaiknya pekebun
budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi.
Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,’
katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari
kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan.
Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl,
kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di
berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak
bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang
(Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur
(Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa
Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat
Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman
gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung,
menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004.
Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m.
Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m
berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan
ramuan ‘rahasia’. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium,
acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk
menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak
hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan
‘rahasia’ itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya ‘tumbuh liar’ 1-2 pohon
gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter
25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan
2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan
20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan
kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta
ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi
mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah
menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita
menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia
menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x
2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao
Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet
pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita
sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan.
Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu
sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang
sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual
sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung.
Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal
menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20
pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon
berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu
antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan
cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah
kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka
tidak tahu teknologi cendawan, ‘Saya pernah mencoba menyuntik pada
sebuah pohon, tapi tak lama mati,’ kata M Amin, pekebun di Dusun Orong
Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan
kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari
pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang
‘diinokulasi’ 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg
kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap
bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai
mengoleskan oli. Intinya membuat pohon ‘merana’ sehingga mau
mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan
bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak
ada ‘kecocokan’ antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman.
Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. ‘Yang namanya mikroba
pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,’ katanya. Fusarium yang
efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara
Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan,
dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan
di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten
Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia
menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun
setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan ‘ajaibnya’. Hasilnya
dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat
masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan
cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang
dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan
gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu
mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip
adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm
berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih
sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan
gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu
dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini
berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan
dan 20% gubal. ‘Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,’
ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar
bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap.
Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput
gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia
langsung mengirimkan 50–100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan
di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara
Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung
gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka
tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung
banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap
mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. ‘Perdagangan
gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya
tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat
tinggi,’ ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di
Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot.
‘Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat
barangnya. Bahkan kalau perlu dites,’ ungkap Taufik. Data Asgarin dapat
menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau
super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung
Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata
Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil
gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun
Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu
budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai
teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil
suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif
singkat. ‘Ini sedang kami teliti di Vietnam,’ kata Prof Robert A
Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat,
melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap
gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. ‘Setiap agama di
dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan.
India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,’ kata doktor
perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu
menjadi kebutuhan pokok. ‘Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak
atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan
kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat
sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,’ kata Dr Afdol Tharik
Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total
ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai
92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004
(32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur
Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg).
Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad.
CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu.
Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap.
Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari
semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan.
‘Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?’ tanyanya. Apalagi di masa
mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat.
Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta
hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti
agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang
hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah
perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair
melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. ‘Mereka
berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang
selalu habis terserap pasar Timur Tengah,’ ungkap Dr Teuku Tadjuddin,
kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus
melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat
ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma
Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman
gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap
anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra
dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman
rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik
pekebun.
Dengan
niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center
mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan
lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara
Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah
ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. ‘Gaharunisasi ini juga
dilakukan di kampus,’ ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram.
Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang
harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah
tahu bertanya pula. http://www.petaniindonesia.com/2009/01/19/gaharu/
Rabu, 04 Desember 2013
Unram Segera Patenkan Teknologi Gubal Gaharu
Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/unram-segera-patenkan-teknologi-gubal.html
Mataram (ANTARA News) – Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB), segera mempatenkan teknologi pembuatan Gubal Gaharu Lombok hasil temuan salah seorang peneliti Unram, yakni almarhum Dr. Parman, mantan Dekan Fakultas Pertanian.
Dekan Fakultas Pertanian Unram Ir. Sudirman, P.Hd, di Mataram, Senin, mengatakan, teknologi pembuatan GubalGaharu Lombok hasil temuan almarhum Dr. Parman menjadi perhatian sejumlah negara di dunia diantaranya Malaysia dan Jerman. Dua negara tersebut sangat tertarik dengan teknologi gubal Gaharu hasil temuan penelitian Unram.
“Atas dasar itulah, dalam waktu dekat Unram akan segera mengurus hak paten teknologi Gubal Gaharu, terlebih adanya berbagai budaya serta hasil penemuan pakar Indonesia yang diklaim oleh Malaysia belakangan ini,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Gubal Gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu,
memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai
oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat.
Menurut
dia, sebelum didaftarkan untuk hak paten, terlebih dahulu akan
dilakukan penelitian secara mendalam tentang ciri khas serta kelebihan
teknologi Gaharu Lombok ini.
Para peneliti dari sejumlah negara yang belajar Gaharu ke Unram mengakui kalau Gaharu Lombok terbaik dariGaharu yang ada di daerah lain di Indonesia maupun di negara lain.
Beberapa negara seperti Malaysia dan Jerman belum termasuk sejumlah daerah di Indonesia, telah menyatakan diri tertarik untuk mempelajari teknologi Gubal Gaharu di Lombok.
Bahkan lembaga riset Jerman menjalin kerja sama dengan Unram untuk fokus pada penelitian serta pengembangan sehingga Gaharu Lombok memiliki ciri khas sehingga tidak diklaim oleh daerah atau pun negara lain.
Sudirman menjelaskan, kerja sama yang dijalin bersama Malaysia dalam pengembangan Gaharu hanya
bersifat biasa. Jika pihak Malaysia menyimpang dari isi memorandum of
understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang telah disepakati, maka
pihaknya akan mencabut dan berhenti kerja sama dengan Malaysia.
“Kita tidak memberikan apa-apa dengan Malaysia hanya kerja sama biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujarnya.
Selain Jerman, Malaysia dan sejumlah negara lainnya, tambah Sudirman, beberapa daerah di Indonesia juga tertarik dengan pengembangan serta kualitas Gaharu Lombok, salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Sorong Irian Jaya.
“Gaharu ini memiliki potensi yang besar dan pasarannya sangat mudah. Harga satu kilogram hasil panen Gaharumulai Rp5 juta-Rp30 juta, tergantung kualitasnya. Hanya saja masa panennya cukup lama yakni sembilan tahun,” ujarnya. (*)
http://arsipberita.com
Source: AntaraNews.com – IpTek
http://arsipberita.com
Source: AntaraNews.com – IpTek
Gaharu : Pohon Eksklusif Akan Diproduksi secara Lestari di Indonesia
Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/gaharu-pohon-eksklusif-akan-diproduksi.html
Indonesia merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi.
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi. Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam kuota.
Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular gaharu “non-CITES quota”.
Dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization, Asgarin dan Yayasan Kehati menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia.
Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia.
Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin, sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan rakyat,” tambahnya.
Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.
“Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung “damar wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB,” ujarnya saat diwawancara.
Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka.
Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.
Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme tadi.
Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo resin.
Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga 30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/ha) dan Kalimantan (9 pohon/ha). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/ha), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/ha). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/ha) dan NTT (7 pohon/ha).
http://wahanagaharu.blogspot.com/2010_09_01_archive.html
Dikutip dari: http://asahangaharu.blogspot.com/
Indonesia merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi.
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi. Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam kuota.
Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular gaharu “non-CITES quota”.
Dengan mengambil tema “Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di Indonesia”, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization, Asgarin dan Yayasan Kehati menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia.
Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia.
Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Selama ini bagi hasil dari produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin, sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan rakyat,” tambahnya.
Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan.
“Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung “damar wangi” dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB,” ujarnya saat diwawancara.
Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka.
Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia.
Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme tadi.
Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo resin.
Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga 30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/ha) dan Kalimantan (9 pohon/ha). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/ha), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/ha). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/ha) dan NTT (7 pohon/ha).
http://wahanagaharu.blogspot.com/2010_09_01_archive.html
Dikutip dari: http://asahangaharu.blogspot.com/
Teknik Inokulasi Untuk menjegah Ilegal Loging Gaharu
Teknik Inokulasi Untuk menjegah Ilegal Loging Gaharu
Sumber : http://asgarin.blogspot.com/2011/05/teknik-inokulasi-untuk-menjegah-ilegal.html
Mengingat jenis isolate penyakit pembentuk gaharu berbeda beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan, maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu. Isolasi ini dilakukan terhadap tanaman gaharu alam yang berada di dalam kawasan hutan sekitar daerah pengembangan. Untuk tujuan tersebut, perlu diawali dengan pengamatan lapangan untuk mempelajari aspek gaharu yang tumbuh alami serta mengisolasi dan mengidentifikasi jenis penyakit dari pohon yang terserang.
Agar berhasil mengembangkan inokulan pembentuk gaharu, diperlukan teknik tertentu. Untuk hal ini, sangat diperlukan peran dari pemerintah daerah instansi atau lembaga terkait, perguruan tinggi, dan investor atau pengusaha swasta didaerah setempat sebagai pelaku produksi inokulan. Adapun tahapan teknik pengembangan inokulan sebagai berikut:
• Pilih pohon gaharu alami yang sudah terinfeksi mikroba penyakit pembentuk gaharu.
• Ambil potongan cabang atau kupasan batang pohon gaharu terpilih. Potongan cabang atau kupasan batang ini disebut “ Preparat ”.
• Bawa preparat tersebut ke Laboratorium dan upayakan agar suhu dan kelembapan nya tetap terjaga dengan cara dimasukkan dalam kotak es.
• Kembangkan spora dari preparat cabang dan atau batang tersebut di dalam media agar untuk diidentifikasi jenis mikrobanya sebagai biakan murni.
• Kembangkan spora dan miselium biakan murni tersebut kedalam media padat seperti serbuk gergaji pohon gaharu atau dalam media cair ang telah berisi unsur makro dan mikro sebagai energi hidup.
• Masukkan media spora kedalam incubator pembiakan dan kondisikan suhu dan kelembapan incubator pembiakan tersebut pada keadaan optimal, yaitu suhu 24 - 32C dan kelembapan 80%. Biarkan sekitar 1 – 2 bulan.
• Tempatkan spora yang sdah dibiakkan tersebut kedalam wadah berupa botol kaca, botol plastic, atau botol infuse bekas.
• Simpan botol dalam freezer incubator. Inokulan ini sudah siap diinokulasikan ke tanaman gaharu. Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda beda sesuai dengan bentuk inokulannya. Pada pelaksanaan penginokulasian terhadap pohon gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu pohon dapat di inokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya umur tanaman tersebut sekitar 4 – 5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 8 – 10 cm. Berikut diulas teknik inokulasi menggunakan inokulan padat dan cair.
Inokulasi dengan inokulan padat.
Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
• Buat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter lubang bor sekitar 0,8 – 10 mm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm.
• Bersihkan tangan pelaku inokulasi dengan air hingga bersih dan dibilas dengan alcohol sebelum pelaksanaan inokulasi.
• Masukkan inokulasi padat ke setiap lubang. Jumlah inokulan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan, pemasukan ini dilakukan hingga lubang terisi penuh dengan inokulan. Agar pemasukan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bamboo yang ukurannya sesuai dengan ukuran diameter lubang.
• Tutup setiap lubang yang sudah diberi inokulan untuk mnghindari masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lili malam”
Inokulasi dengan inokulan cair.
Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
• Lakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring kebawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infuse tersebut biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan. Namun, bila belum tersedia, selang infuse dapat disediakan sendiri oleh petani.
• Masukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair kedalam lubang.
• Atur besarnya aliran inokulan cair tersebut. Hentikan aliran infuse bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang.
• Tutup bagian tepi disekitar selang infuse dengan menggunakan “lilin malam”.
• Ulangi pengaturan aliran masuknya cairan infuse kedalam lubang setiap 1 – 2 hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.
• Laksanakan penginokulasian ini hingga inokulan cair didalam botol infuse tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru, bila belum ada tanda tanda kematian fisik dan fisiologis.
http://wahanagaharu.blogspot.com
Di sadur dari buku:
Budidaya Gaharu karya Yana Sumarna 2002.
Potensi dan peluang bisnis tanaman Gaharu di Asahan
Karya Mujiono 2008
Bisnis Gaharu Menarik Bagi Investor Muda Yang Inovatif
Beragam bisnis bisa menjadi pilihan, namun tentunya harus diimbangi dengan wawasan dan kesiapan dari berbagai segi.
Salah satu yang makin marak adalah bisnis Kayu Gaharu. Karena sangat potensial dan sudah dapat menghasilkan, dari benih hingga pohon.
Gaharu yang istimewa ini, menjadi salah satu primadona yang luar biasa berkilau. Banyak investor dari berbagai negara kini memilih untuk menginvestasikan modalnya dalam bisnis ini.
Tidak perlu khawatir mengenai pengelolaannya, karena kini semakin banyak mitra petani dan tim ahli yang dapat bekerjasama dengan investor.
Bahkan olahan kayu Gaharu lebih inovatif juga dapat dikemas dengan konsep yang lebih pop, berbagai hasil olahan ini sudah mendunia, beberapa inovasinya, dari mulai sebagai fungsi penghijauan hingga aksesoris, minyak wangi hingga sebagai teh herbal. Karena itulah kayu Gaharu di claim sebagai kayu termahal di dunia, salah satu bagaian termahal adalah hasil sulingannya, yang mencapai ratusan juta perliter di pasar internasional.
Bahkan Yvest Saint Laurent menjadikan Gaharu sebagai bahan dasar utama untuk produknya.
Bisnis yang seolah menjadi tabungan masa depan ini, kini tidak hanya dimonopoli oleh para pengusaha senior, namun juga digandrungi oleh pengusaha pemula, bahkan dikalangan usia muda. Ini membuktikan bahwa makin meningkatnya kesadaran dan kecerdasan kaum muda dalam memilih usaha.
Berikut ini kupasan tentang potensi bisnisnya http://petanigaharu.blogspot.com/2011/03/budidaya-gaharu-sangat-menjanjikan.html
Tidak hanya itu, Indonesia tenyata menguasai separuh pasar Gaharu, simak kilasannya di link berikut ini http://www.kabarbisnis.com/read/2833957
Jadi mengapa takut dan ragu, bila bisnis ini aman, menguntungkan dan Insya allah berkah.
Mari kita menjalin kerjasama dan kembangan inovasi baru dari olahan Gaharu!
Salah satu yang makin marak adalah bisnis Kayu Gaharu. Karena sangat potensial dan sudah dapat menghasilkan, dari benih hingga pohon.
Gaharu yang istimewa ini, menjadi salah satu primadona yang luar biasa berkilau. Banyak investor dari berbagai negara kini memilih untuk menginvestasikan modalnya dalam bisnis ini.
Tidak perlu khawatir mengenai pengelolaannya, karena kini semakin banyak mitra petani dan tim ahli yang dapat bekerjasama dengan investor.
Bahkan olahan kayu Gaharu lebih inovatif juga dapat dikemas dengan konsep yang lebih pop, berbagai hasil olahan ini sudah mendunia, beberapa inovasinya, dari mulai sebagai fungsi penghijauan hingga aksesoris, minyak wangi hingga sebagai teh herbal. Karena itulah kayu Gaharu di claim sebagai kayu termahal di dunia, salah satu bagaian termahal adalah hasil sulingannya, yang mencapai ratusan juta perliter di pasar internasional.
![]() | ||||
Salah satu bentuk olahan kayu Gaharu hasil inovasi dari pengusaha Gaharu Pontianak |
Bisnis yang seolah menjadi tabungan masa depan ini, kini tidak hanya dimonopoli oleh para pengusaha senior, namun juga digandrungi oleh pengusaha pemula, bahkan dikalangan usia muda. Ini membuktikan bahwa makin meningkatnya kesadaran dan kecerdasan kaum muda dalam memilih usaha.
Berikut ini kupasan tentang potensi bisnisnya http://petanigaharu.blogspot.com/2011/03/budidaya-gaharu-sangat-menjanjikan.html
Tidak hanya itu, Indonesia tenyata menguasai separuh pasar Gaharu, simak kilasannya di link berikut ini http://www.kabarbisnis.com/read/2833957
Jadi mengapa takut dan ragu, bila bisnis ini aman, menguntungkan dan Insya allah berkah.
Mari kita menjalin kerjasama dan kembangan inovasi baru dari olahan Gaharu!
Minggu, 20 Maret 2011
Budidaya Gaharu Sangat Menjanjikan Keuntungan
MASIH banyak masyarakat di daerah yang belum tahu prospek bisnis berkebun pohon gaharu. Jika mendengar harga gaharu dengan kulitas king, telinga kita akan terperanjat. Perkilonya bisa mencapai Rp 50 juta. Syaratnya, petani harus rajin merawat dan menjaga pertumbuhan pohon gaharu tersebut. Di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), sudah ada sekitar 28.000 bibit yang sudah ditanam. Ada di Desa Layuh dan Karatau Mandala Kecamatan Batu Benawa, Desa Kambat Kecamatan Pandawan, dan Desa Haur Gading Kecamatan Batang Alai Utara (BAU).
Bibit yang sudah ditanam tersebut ada yang sudah berusia lima tahun. Salah satu pembudi daya, M Yani, saat ditemui menceritakan, sejak tahun 2002 dia sudah mulai tertarik dengan usaha budi daya gaharu ini. Sebagai masyarakat pencinta hutan, dia punya komitmen untuk memberdayakan masyarakat petani di daerah. “Saya punya harapan, petani kita memiliki masa depan yang baik. “Ya salah satunya mengembangkan budi daya gaharu ini,” tandasnya.
Selain itu, pihaknya akan memberikan bantuan berupa bibit, penyuntikan, dan pemasaran. Sedangkan system pembagian hasil, petani kebagian 40 % dan pihaknya 60%. “Petani cukup menyediakan lahan dan bisa merawat pohon gaharu tersebut agar bisa tumbuh subur,” tandasnya.
Sementara itu, Peneliti Gaharu dari Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan RI, dr Erdy Santoso mengatakan, gaharu memiliki harga ekonomis yang tinggi serta dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu saat ini belum terlalu banyak dikenal. Hanya orang tertentu yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun.
Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, katanay pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Sehingga warga memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 6 sampai 8 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu,” sebutnya. Sementara harga getah gaharu mencapai Rp 5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta/kg.

n>
Sabtu, 19 Maret 2011
Gaharu Multi Manfaat
Pemanfaatan gaharu yang paling banyak adalah dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk). Aroma wangi atau harum dengan cara membakar secara sederhana banyak dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah (seperti Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Yaman, Oman), sedangkan penggunaan yang lebih bervariasi banyak dilakukan di Cina, Korea, dan Jepang seperti bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan relijius.
Perkembangan teknologi kedokteran telah membuktikan secara klinis bahwa gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat seperti anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan. Di Cina kuno, Gaharu digunakan sebagai obat sakit perur, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal, paru-paru, dll. Di Eropa, gaharu diperuntukkan sebagai obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus. Disamping itu di beberapa negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, USA sudah menembangkan gaharu ini sebagai obat-obatan seperti penghilang stres, gangguan ginjal, sakit perus, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa.
MINYAK gaharu merupakan minyak yang dihasilkan dari distilasi kayu gaharu baik dengan sistem basah ataupun sistem kering. Minyak gaharu sangat diminati oleh berbagai pengguna terutama untuk sumber atau bahan minyak wangi atau parfum, untuk bahan obat, dan untuk penggunaan lainnya.
Minyak gaharu harganya sangat bervariasi tergantung dari tingkat kemurnian atau dari kualitas bahan yang digunakan.Pada saat ini harga di tingkat petani dengan kualitas standar mencapai Rp. 60 juta per liter. Kami menyediakan kualitas super dengan harga Rp. 200 juta per liter.
v>
Langganan:
Postingan (Atom)